Pandemi Covid-19 yang terjadi begitu cepat melanda hampir semua negara di dunia telah mengakibatkan dampak yang serius dalam berbagai sektor kehidupan. Sejenak gerak rutinitas global terhenti karena sifat virus Covid-19 yang menular begitu agresif dan dalam berbagai kondisi bisa sangat mematikan. Data WHO (World Health Organization) mencatat 505 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Covid-19, dari data tersebut 6,07 juta di antaranya meninggal dunia.
Hingga saat ini pandemi Covid-19 di beberapa negara dunia belum juga mereda pascakemunculannya yang pertama pada akhir tahun 2019. Namun demikian laju infeksinya mulai dapat dikendalikan melalui berbagai rekayasa sosial dan vaksinasi. Di Indonesia kasus Covid-19 mengalami tren penurunan seperti yang terlihat dari data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pertanggal 18 April 2022. Tercatat penambahan kasus baru harian di bawah 1000. Prestasi ini disinyalir tidak terlepas dari peran serta segenap elemen masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan program vaksinasi dan mematuhi anjuran tentang protokol kesehatan (prokes).
Di lain pihak, krisis tidak sepenuhnya membawa dimensi buruk. Sebaliknya, krisis juga membawa serta peluang kearah kehidupan yang lebih baik. McBeth dalam buku Sistem Politik Indonesia karya Prof. Budi Winarno menyatakan bahwa tanpa adanya krisis tidak akan pernah ada perubahan baik vertikal (politik-ekonomi) maupun horizontal (sosial-budaya). Seperti halnya dalam konteks Indonesia, adanya post-pandemi Covid-19 menjadi momentum yang patut untuk tidak dilewatkan dalam upaya menata kembali sendi-sendi integrasi dan konektivitas negara kesatuan melalaui tata kelola pemerintahan berbasis Bhineka Tunggal Ika. Definisi pemerintahan berbasis Bhineka Tunggal Ika setara dengan pengertian pemerintahan yang inklusif. Tata kelola pemerintahan yang inklusif maksudnya adalah tata kelola yang mengakomodir kesetaraan, partisipasi, dan toleransi dengan mengikutsertakan keterlibatan lingkungan, rasa hormat, dan koneksi dari berbagai kelompok.
Isu Strategis
Otonomi daerah di Indonesia yang dimulai sejak era reformasi tahun 1996 silam membawa konsekuensi terhadap landscape dan tata kelola pemerintahan pada level pusat hingga daerah. Otonomi daerah mencuat sebagai aspirasi masyarakat demi terjaminnya kedaulatan rakyat. Sebenarnya cikal bakal otonomi daerah sudah terasa rohnya setidaknya apabila menilik kembali landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Diundangkannya produk hukum tersebut merupakan resultante dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan diera pra kemerdekaan seperti masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Semangat undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan badan perwakilan tiap daerah.
Tanggal 25 April diperingati sebagai hari Otonomi Daerah di Indonesia dan Tahun 2022 usia Otonomi Daerah berusia 26 tahun sepanjang umur tersebut pelaksanaan otonomi daerah menorehkan catatan baik yang sifatnya korektif maupun apresiatif terlebih dengan adanya pandemi covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia. Virus Sars-Cov-19 tidak hanya mematikan bagi manusia tetapi turut meyebabkan krisis serius pada sektor sosial-ekonomi mengingat adanya protokol penangan pandemi yang mengharuskan terhentinya mobilitas masyarakat.
Imbasnya, Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat adanya peningkatan pengangguran dari 4,9% menjadi 7% atau setidaknya diangka 9,77 juta orang dimana jumlah terbesarnya merupakan kelompok anak muda berusia 20-29 tahun. Disaat yang bersamaan, bagi kelompok pengangguran juga terkena dampak pandemi ganda akibat adanya pembatasan mobilitas menyebabkan fenomena “generasi lockdown” di mana terjadi disrupsi akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan kesempatan kerja, kehilangan pendapatan, dan semakin sulitnya mencari pekerjaan (ILO,2020).
Persoalan di atas menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah pada level lokal hingga pusat sekaligus dapat menjadi indikator sejauh mana otonomi daerah mampu mewujudkan kedaulatan rakyat melalaui upaya menjembatani warga negara untuk mengakses pasar demi memulihkan dampak pandemi Covid-19.
Fokus pemulihan pasca pandemi covid-19 harus tetap berpijak pada jati diri bangsa Indonesia dengan mengedepankan semangat gotong royong dalam kebhinekaan. Hal ini menjadi penting dalam rangka turut memperkaya pandangan dan wawasan kebangsaan guna menyegarkan semangat bangsa Indonesia agar diperoleh jawaban-jawaban terbaik atas persoalan multidimensional yang dihadapi. Status pandemi Covid-19 yang terjadi merupakan satu tantangan tersendiri bagi usaha untuk menyatukan kembali kemajemukan dalam bangsa Indonesia di tengah adanya fenomena pembentukan identitas baru akibat arus globalisasi dan persilangan kebudayaan antaretnis di Indonesia.
Mengutip laporan tahunan Setara Institute tentang Indeks Kota Toleran tahun 2018 hingga 2021 setidaknya terdapat dua model kota menurut komposisi sosial masyarakatnya. Pertama apa yang disebut kota heterogen yakni tersusun dari berbagai etnis dan agama sedangkan model kedua adalah kota homogen dengan komposisi masyarakatnya terdiri dari kelompok minoritas dan mayoritas. Namun begitu, keduanya memiliki akar persoalan yang sama yakni adanya realita bahwa masyarakat Indonesia mulai terlepas dari identitas kulturalnya. Hal yang mendukung situasi tersebut nampak dalam peristiwa ketika orang berasal dari Suku Jawa kemudian menikah dengan orang suku Minang lalu memutuskan untuk menetap pada lingkungan baru sehingga keduanya akan memiliki keturunan yang berpotensi tercerabut dari nilai-nilai kearifan lokal kedua orang tuannya.
Padahal hemat penulis, kemajemukan yang hadir dalam realitas sosial masyarakat Indonesia apinya bersumber pada kearifan lokal yang hidup dan melekat dalam kebangsaan Indonesia. Apabila anak dari orang tua yang berasal dari dua suku berbeda tersebut lepas dari akar kulturalnya ditambah dengan arus globalisasi maka dapat membawa percampuran yang memaksa Indonesia untuk berhadapan dengan identitas kebangsaan baru. Pada situasi inilah kemudian negara melalaui pemerintah perlu untuk membuat rekayasa sosial-poltik dalam masyarakat untuk mengembalikan jati diri sebagai bangsa yang majemuk.
Kerangka Kebijakan
Pemerintah daerah dalam level kabupaten atau kota memiliki tanggung jawab besar dalam proyek pembangunan masyarakat inklusif ini. Hal tersebut sebagaimana Bung Hatta sampaikan dalam salah satu pidatonya di tahun 1957 yang berjudul Demokrasi dan Otonomi menyatakan mengapa kabupaten/kota menjadi titik berat pelaksanaan otonomi tidak lain karena dalam aras hierarki pemerintahan. Dibandingkan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, kabupaten/kota memiliki posisi strategis dalam memimpin otonomi pada level desa yang pada akhirnya otonomi daerah akan mencapai arti serta tujuan sesungguhnya.
Tata kelola pemerintahan daerah inklusif berdasarkan kesetaraan, partisipasi, dan toleransi harus berorientasi kepada masyarakat. Di dalam pelaksanaannya mengarah pada kerangka untuk menstimulus terciptanya nilai-nilai kolektif, bahasa universal, dan ideologi bersama sehingga mewujudkan masyarakat toleran dan ramah terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya. Keberhasilan suatu masyarakat dalam mengelola kemajemukan dapat dilihat dari indikator sebagai berikut yakni terbentuknya pengalaman, perasaan, keadaan, dan kebutuhan kolektif bersama sehingga terciptanya kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk. Selanjutnya dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintah daerah yang inklusif, ruang perjumpaan lintas etnis, agama, suku, dan golongan wajib tersedia sebagai upaya berbagi ketertarikan, pengalaman, perasaan, dan keadaan sehingga masyarakat memiliki rasa kemajemukan dan kebangsaan yang semakin kokoh.
Selanjutnya, terdapat empat (4) isu yang patut menjadi perhatian pemerintah daerah guna memastikan bahwa pemerintahan yang dijalankan mengusung tata kelola pemerintahan inklusif. Keempat isu tersebut mengacu pada indikator yang digunakan oleh Setara Institute dalam menyusun Indeks Kota Toleran (IKT) hasil modifikasi dari tiga indikator berdasarkan Brian J. Grim dan Roger Finke (2006). Pertama, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) setidaknya memuat tujuan pembangunan yang mengarah pada kerukunan dan kebangsaan Indonesia yang meliputi perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan menguatkan identitas kebangsaan, melestarikan kemajemukan, dan memajukan toleransi di tengah masyarakat.
Kedua, Kebijakan Pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Surat Edaran (SE) haruslah berorientasi menyediakan kerangka afirmatif terhadap terciptanya kerukunan dan merawat nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakat. Ketiga, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus menjadi fasilitator bagi perjumpaan lintas etnis, agama, suku, dan golongan dengan menitik beratkan pada pelibatan masyarakat mayoritas, minoritas maupun marginal. Dan keempat, Organisasi Mayarakat Sipil sudah seharusnya dilibatkan dalam perencanaan, pelaksaaan, dan evaluasi dari program, kegiatan, serta berbagai agenda inklusi dari pemerintah.
Ditulis oleh Achmad Sidiq As’ad
Bekerja pada Kantor Regional I BKN Yogyakarta